JALAN BERDUA SERIES : PESONA RANAH MINANG DI SUMATERA BARAT

12:26:00 AM

Seri perjalanan ini akan berkisah mengenai perjalanan saya bersama istri tercinta. Jadi sudah tidak tepat jika dikatakan Backpacker, karena perjalanannya tidaklah ngirit-irit amat. Tapi bukan juga turis, karena kami tidak ikut tour agent atau sejenisnya. Bahkan, kami menemukan kesenangan tersendiri ketika mencari penginapan yang akan ditempati atau menyusun itinerary bersama. Flashpacker atau budget traveler mungkin lebih tepat untuk menggambarkan petualangan kami.

So, just read and enjoy it… hope it will be useful

Flight PP Jakarta – Padang

Untuk penerbangan Jakarta-Padang kali ini kami memilih Citilink Garuda, karena selain pesawat dengan low fare paling nyaman, harganya bersahabat dan waktu penerbangannya di Jumat pagi sesuai keinginan kami.

Dan pulangnya kami memilih Sriwijaya Air karena di senin sore harga Sriwijaya juga lumayan murah. Dapat bonus roti dan air mineral pula…hehe… akhir-akhir ini jarang ada penerbangan low fare yang baik hati memberikan ransum selama penerbangan.

Dan alhamdulillah… kedua maskapai penerbangan ini tepat waktu dan lancar selama perjalanan..

Bandara International Minangkabau (BIM)

Pendaratan Citilink cukup mulus di bandara yang berada ditepi pantai ini. Landasan pacu yang cukup luas ini cukup mendukung pariwisata dan perekonomian di Sumatera barat. Turun dari pesawat, bandara beratapkan rumah gadang menyambut kami di Ranah Minang ini. Sekilas saya lihat di dalam airport, tawaran ke Pulau Mentawai sungguh menggiurkan.. Sayangnya, kami hanya berencana 3 hari untuk trip kali ini... maybe next trip?? :)

Uniknya lagi, ketika kami pulang, pada sore hari adzan Ashar menggema di seluruh bandara! Ini menandakan bahwa mayoritas penduduk Sumatera Barat menganut agama Islam. Salut!


DAY 1

Basko Mall

Mall yang menjadi satu dengan hotel berbintang lima ini berada di jalan utama kota Padang. Di sini kami singgah sebentar untuk makan siang dan mengambil mobil sewaan. Jangan lewatkan makan siang di warung kecil depan mall ini yang menyajikan masakan khas Padang. Uniknya, warung ini hanya menyajikan 3 jenis lauk: Dendeng, ikan balado, dan Kalio (rendang setengah matang). Dengan nasi khas Padang yang sedikit gembur (tidak lengket), rasanya boleh diadu!

Air Terjun Anai

Air terjun Anai berada di Lembah Anai, sekitar 1 jam dari kota Padang ke arah Bukittinggi. Tak sulit menemukan air terjun ini. Bahkan spot ini merupakan sesuatu yang unik dari Sumatera barat, karena baru kali ini saya melihat ada air terjun persis di pinggir jalan raya!




Perjalanan Padang-Bukittinggi

Bukittinggi

Bukittinggi merupakan kota wisata andalan Sumatera barat. Dari Padang, kita bisa mengendarai mobil dengan jarak tempuh sekitar 100 km atau sekitar 2.5 jam. Jangan takut berkendara sendiri ke kota ini, karena jalurnya mudah ditempuh, tidak ada belokan yang membingungkan. Kota yang memiliki keindahan alam yang luar biasa ini juga tak lepas dari sejarah bangsa Indonesia. Salah satu proklamator Indonesia, Bung Hatta, berasal dari kota ini. Dan Lubang Jepang (Goa Jepang) merupakan saksi bisu betapa pentingnya peranan kota Bukittinggi yang pernah menjadi ibukota sementara Indonesia.

Spot wisata terkenal yang bisa dikunjungi di Bukittinggi ini pun cukup berdekatan, seperti : Jam Gadang, Benteng Fort de Kock, Ngarai Sianok, Lubang Jepang, Koto Gadang, Museum Bung Hatta.

Untuk penginapan, tidak usah kawatir, karena di Bukittinggi ini terdapat banyak penginapan, dari yang model homestay, resort sampai hotel berbintang. Dari bangunan kuno sampai modern pun ada. Untuk yang punya Budget berlebih, kami sarankan untuk mencoba The Hills atau Grand Rocky. Namun jika ingin hotel yang strategis dan lumayan bersih, pilih Nikita Hotel atau Kharisma hotel. Kebetulan kami waktu itu menginap di Nikita Hotel karena yang lain sudah full booked.

Untuk masalah makanan, jangan khawatir, karena di setiap sudut kota terdapat night market ataupun jajanan yang unik dan enak.


Jam Gadang

Jam Gadang

Lokasi Jam Gadang tak jauh dari hotel kami, cukup jalan kaki sekitar 15 menit. Jam yang berbentuk tugu ini memiliki keunikan sendiri dari segi sejarah dan arsitekturnya. Menyerupai Big Ben London, namun atapnya bercirikan Minangkabau. Konon, katanya ada jalan bawah tanah yang menghubungkan antara Jam Gadang ini dengan Lubang Jepang yang terletak di Ngarai Sianok. Dan coba perhatikan angka 4 nya. Jam yang menggunakan angka romawi ini tidak memakai “IV”, namun “IIII”.


Hal yang unik sepanjang jalan Padang-Bukittinggi

  • Asmaul Husna. Anda akan menemui papan asmaul husna tiap beberapa ratus meter di kota Padang panjang.
  • Rumah gadang. Banyak sekali rumah khas Minang, Rumah Gadang, yang menghiasai kiri-kanan jalan raya
  • Tiap masjid besar memiliki kolam di halaman depannya
  • Tiap hotel menyediakan sajadah di setiap kamar
  • Sungai yang jernih mengalir di sepanjang lembah Anai
  • Angkot di Padang full music, full accessories and modif addict!
  • Masih banyak satwa liar seperti kera-kera bermunculan dari dalam hutan. Bahkan , saya sempat melihat seekor elang terbang dengan bebasnya di langit kota Padang
  • Tingkat kepedasan makanan di Sumatera barat ini berbeda dengan di Jawa. Huh-Hah…!! :)

DAY 2

Pasar Atas Dan Pasar Bawah

setelah selesai sarapan, kami menyempatkan diri untuk ampir ke Pasar Bawah. Di belakan pasar yang menjual aneka bahan pangan ini terdapat masjid besar Bukittinggi. Di Pasar atas, bisa ditemukan berbagai makanan khas dan souvenir kota BUkittinggi.

Puncak Lawang

Puncak Lawang adalah lokasi yang tepat untuk melihat Danau Maninjau. Untuk menuju lokasi ini cukup mudah. Dari Bukittinggi, kita menuju ke arah Padang. Hanya 3 km dari perbatasan pusat kota Bukittingi ada persimpangan Padang Luar, belok ke kanan. Lurus saja ikuti jalan menuju Puncak Lawang yang masih 40 km dari perempatan itu.

Subhanallah! Puncak lawang memiliki keindahan alam yang luar biasa. Dari atas puncak ini kita bisa melihat Danau manunjau dan sekitarnya. Danau yang dikelilingi pegunungan dan kabut tebal yang menyelimuti puncaknya. Kata penduduk sekitar, hari itu kebetulan cerah, karena biasanya menjelang siang hari kabut sudah turun menutupi pemandangan danau. Keindahan Puncak Lawang ini bahkan sudah tersiar sampai mancanegara. Karena pada saat itu kami bisa menyaksikan kejuaraan Paralayang bertaraf internasional.

Puncak Lawang

Kelok 44

Jika tak memiliki drive skill yang mumpuni, jangan coba-coba melewati jalan menuju Maninjau ini. Itulah sebabnya jalan ini lebih dikenal dengan kelok 44 (baca: kelok ampek-ampek). Belokan tajam berbentuk “U” berjumlah 44 inilah yang membuat jalanan ini sangat berbahaya, walau pemandangannya sangat menarik. Di kelok 44 inilah terdapat satu spot untuk memandang maninjau yang disebut Embun Pagi.

Danau Maninjau

Di tepi Danau Maninjau, kita bisa menemui Rumah Buya Hamka, satrawan terkenal asal Minang. Rumahnya sekarang dijadikan museum yang banyak dikunjungi wisatawan. Kuliner khas yang bisa dinikmati di tepi danau ini adalah ikan bilih dan usus isi tahu. Namun, jika tak ada tujuan yang pasti, sebaiknya tidak usah tueun ke danau ini, karena untuk pulang kita harus melalui kelok 44 lagi... Beuh..!


Danau Maninjau

Taman Panorama

Ngarai Sianok ternayat sangat dekat dengan hotel yang kami tempati. Kita tinggal masuk ke Taman Panorama, kita bisa menjelajah Lubang jepang dan menikmati pemandangan Ngarai Sianok dengan tebing-tebing batuan karstnya.


View Ngarai Sianok dari Taman Panorama

Lubang Jepang atau Goa Jepang

Inilah saksi bisu sejarah kota Bukittinggi. Untuk masuk ke Goa ini, kita harus menuruni 140 anak tangga. Saran saya, pakailah pemandu lokal untuk menemani anda. Cukup membayar seiklasnya minimal 50 ribu, anda dapat mengetahui sejarah Goa Jepang ini. Karena jika tanpa pemandu, yang anda temui hanyalah goa kosong yang tidak memiliki arti.

Di Goa terdapat 21 lobang yang kalau ditotal sepanjang 1470 meter. Terdapat beberapa lobang yang ditutup untuk umum, karena udaranya yang dinilai tidak begitu bagus. Tidak seperti Goa lainnya, Jepang nampaknya membangun Goa ini dengan arsitektur yang sangat terencana. Dengan sirkulasi udara yang bagus, berbagai kegiatan di dalam Goa ini bisa dilakukan dengan nyaman.

Memasuki pintu utama Goa, kami diceritakan pemandu mengenai pembangunan Goa ini. Seperti diketahui, Bukittinggi adalah lokasi yang sangat strategis untuk membentuk suatu pusat pemerintahan. Karena selain didukung sumber daya alamnya, pertahanan kota ini juga sangat bagus karena dikelilingi pegunungan. Tak heran jika kota ini pun pernah dijadikan ibukota pada saat Pemerintahan Darurat republic Indonesia. Sistem pembangunan Goa ini menggunakan kerja paksa Romusha. Namun dahulunya, pembangunan Goa ini tak pernah diketahui penduduk lokal, karena Jepang mengambil pekerja paksanya dari luar Jawa dan membangunnya secara diam-diam di malam hari. Di tiap dinding berjarak satu meter ada tanda menjorok ke dalam. Ini adalah tanda jika tiap pekerja menyelesaikan pengerjaannya satu meter, dipasanglah penyangga goa yang kemudian diletakkan obor untuk penerangan.

Nampaknya Jepang benar-benar ingin menguasai Bukittinggi pada saat itu. Namun karena pengeboman salah sasaran di Pearl Harbour, mereka balik diserang Amerika melalui pengeboman Hiroshima dan Nagasaki yang berakibat kekalahan Jepang dalam Perang Dunia. Dan akhirnya Goa ini pun lambat laun ditinggalkan oleh Jepang…

Goa dengan rata-rata tinggi sekitar 2 meter ini sudah dirombak menjadi tempat bersejarah yang layak dikunjungi. Di dalamnya pun tembok dan lantai sudah berlapis semen dan dilengkapi pencahayaan yang memadai. Konon, katanya pada tahun 2007, Perdana menteri jepang saat itu mengunjungi Goa ini dan melihat grafiti-grafiti terukir di dinding Goa yang menggambarkan sistem kerja paksa Romusha. Untuk menutupi hal tersebut, pemerintah Jepang pun menggelontorkan dananya untuk merombak Goa ini agar layak dikunjungi dan menutup semua grafiti itu dengan lapisan semen tanpa mengubah bentuk originalnya.

Setelah menuruni tangga, di kanan kiri terdapat lobang kamar dan jalan paralel. Lobang-lobang berbentuk kamar tersebut dulunya difungsikan sebagai tempat persenjataan Jepang. Di sisi kiri Goa adalah tebing Ngarai Sianok. Di salah satu lobang, pemandu menjelaskan bahwa jalan itu merupakan jalan pelarian untuk Jepang apabila diserang musuh. Jalan ini sengaja dibuat dengan diameter lebih kecil, karena orang Belanda tak mungkin mengejar mereka dengan cepat karena postur badan mereka yang lebih tinggi sehingga harus menunduk. Di ujung lobang itu adalah tebing di mana di bawah nya terdapat sungai Ngarai Sianok. Lanjut si Pemandu, Jepang akan melarikan diri menuruni tebing dengan menggunakan akar pohon ke arah sungai, lalu mereka memutar balik melalui jalan lain, dan akan menyerbu musuh yang masih berada di dalam Goa itu. Strategi yang jitu!

Di ujung Goa, terdapat penjara tempat para pekerja paksa itu dikurung. Pemandu tersebut bercerita, di sinilah tempat paling angker di goa ini, karena dulunya pekerja yang mati karena sakit atau kelelahan dibiarkan begitu saja atau dibuang dari lubang kecil di dapur sebelah penjara yang mengarah ke tebing Ngarai Sianok. Jenazah mereka diperlakukan dengan kejam seperti sampah yang dibuang dari tebing hingga terbawa arus sungai di bawahnya.
Lobang Jepang

Ngarai Sianok

Sungai yang membelah di antara tebing tinggi nan curam inilah yang kemudian dikenal dengan nama Ngarai Sianok. Pemandangan yang luar biasa pun ada jika kita keluar dari Lobang jepang mengikuti jalan raya yang turun ke bawah.


Jembatan Ngarai Sianok

Koto Gadang (The Great Wall)

Dari jalan keluar Lubang Jepang, kea rah bawah ikuti jalan hingga menemui jembatan, lalu ikuti jalan naik ke atas kira-kira 10 km. Di sinilah kami temui sebuah tempat bernama Koto Gadang, atau orang bisa artikan “Kota Gede” nya Sumatera barat, tempat kerajinan perak. Di desa di mana banyak penggembala anjing pemburu inilah The Great Wall dibangun untuk lebih meramaikan wisata Ngarai Sianok. Dari Greatwall ini kita bisa turun ke tebing yang memiliki arsitektur mirip Tembok Cina sepanjang 400 anak tangga untuk mendapatkan view Ngarai Sianok yang lebih dahsyat.
The Great Wall di Koto Gadang


DAY 3

Benteng Fort de Kock

Bukittinggi ternyata pernah juga dipakai sebagai benteng pengintai para penjajah Belanda. Benteng yang didirikan di atas bukit ini masih berdiri telah mengalami perubahan bentuk di sekelilingnya. Maka jangan heran jika anda tak menemui bangunan banteng kuno di sana, karena selain bangunan banteng yang berbentuk seperti tower biasa, sekitar banteng kini juga sudah dirombak menjadi taman wisata. Yang ada malah kebun binatang :)

Namun jangan kawatir, anda tak akan rugi jika masuk ke taman ini. Ada jembatan gantung yang cukup terawat membentang dengan kokohnya. Di seberangnya anda akan dimanjakan dengan museum dan rumah adat Minang serta bisa foto session dengan menggunakan pakaian khas Minang.

Taman Benteng Fort de Kock

Pantai Padang

Puas berkeliling Bukittinggi, kami harus balik ke Pdang karena waktu yang sudah tak memungkinkan untuk pergi ke Payakumbuh maupun Batusangkat. Hayam Wuruk Hotel manjadi pilihan kami untuk menginap di hari berikutnya. Hotel berbintang tiga ini memiliki kamar yang nyaman dan lokasi yang dekat dengan pantai.

Pantai ini cukup ramai dikunjungi wisatawan domestik maupun mancanegara. Walaupun agak kototr karena dekat dengan kota, namun ombak pantai ini cukup menarik untuk sekedar bermain-main dan berenang.

Di sepanjang pantai kita akan dimanjakan berbagai jajanan dan masakan laut. Namun sayang, keindahan pantai ini masih dikotori tenda-tenda ceper yang merupakan tempat untuk bermaksiat.

Pantai Air Manis

Sekitar 30 kilometer dari kota Padang ke arah perbukitan, kami akhirnya menemukan pantai yang menceritakan kisah legendaris Malinkundang. Di pantai yang mememiliki area cukup luas ini terdapat batu karang unik berbentuk si Malin yang sedang bersujud, yang kononnya terbentuk secara alami. Di sekitarnya tampak ujung perahu Malinkundang. Seakan-akan si Malin akhirnya bersujud minta ampun pada ibunya. Namun ibunya lebih dulu mengutuknya jadi batu. Namun entah mengapa pantai ini dinamakan Air Manis, kami kurang tahu. Mungkin juga karena tercium bau gula aren di sekitar pantai yang dibuat penduduk sekitar, karena kami saat itu juga merasakannya. Dan ketika malam tiba, searah jalan pulang ke pusat kota, kita bisa menyaksikan pemandangan lampu-lampu rumah dan jalanan kota Padang yang sangat cantik dari puncak bukit.



Batu Malinkundang dan sunset di Pantai Airmanis

Jembatan Siti Nurbaya

Jembatan ini juga merupakan spot yang cukup ramai dikunjungi wisatawan ataupun masyarakat lokal. Jembatan yang berada di tepian dermaga ini kalau malam memang cantik sekali dihiasai lampu-lampu jalanan. Tak hanya itu, di ujungnya kita juga bisa melihat view bukit dengan lampu-lampu rumah penduduk. Di sisi kanan kiri jembatan, banyak penjual jagung bakar yang membuat suasana tambah ramai.


DAY 4

Tak banyak yang kami lakukan di hari keempat ini, karena kami sorenya harus bersiap ke airport. Waktu pun akhirnya kami habiskan untuk menikmati suasana pantai yang sepi di pagi hari hingga siang. Lalu beranjak pergi meninggalkan hotel menuju airport.

Padang. Kota yang dinamis, dengan pusat bisnis yang ramai, namun tanpa menghilangkan budaya lokal dan diperkaya keindahan alam yang luar biasa. Mungkin memang susah menjelajah Padang dalam waktu yang terbatas ini, namun kami telah puas dibuatnya. Saya pun masih dibuat penasaran dengan keindahan pantai pesisir selatan dan Pulau Mentawainya. Tak banyak orang yang sengaja pergi ke Padang untuk berwisata. Kebanyakan karena alasan bisnis dan keluarga. Namun saya yakinkan melalui blog ini, bahwa keindahan alam di Sumatera Barat ini layak mendapat perhatian dari wisatawan domestik maupun internasional. Onde Mande… Rancak Banar!! :)







You Might Also Like

1 comments