Kebebasanku-episode 1

8:05:00 AM

Benteng Vastenburg, Solo, Juli 1995

Awan berarak menuju senja
Menentang kehendakku tanpa daya
Tanpa balas aku menyahut suara dalam keheningan
Entah apa yang aku pikirkan...
Entah apa yang mereka pikirkan...
Bagai embun yang mengalir ke mahligai muara
Laksana sungai yang bergerak ke lautan
Angin pun telah membawaku kemari...
Menatap sebuah nyawa dalam sejarah yang telah mati
Entah apa yang aku pikirkan...
Entah apa yang mereka pikirkan...
Mungkinkah jiwaku terbujuk dalam lamunan
Yang telah membawaku menuju kebahagiaan
Kebahagiaan yang tertutup kabut
Kabut yang tebal dan dingin..
Tanpa tahu apa yang terjadi...
Saat aku melewatinya..
Saat aku menembusnya...


BRAKKK!!! Sesaat aku terhenyak dalam lamunanku. Suara keras itu telah membuat semua script yang aku buat berserakan ke tanah. Kucoba mencari asal suara itu. Ternyata hanyalah sebuah dahan kayu yang terjatuh dari pohon tua di belakangku. Suaranya begitu keras hingga mengagetkan aku. Pandanganku sejenak terhenti ke arah pohon tua itu. Pohon tua yang kesepian, kataku dalam hati. Mungkin ajal telah menantinya menuju ke tempat yang lebih baik. Aku tahu betul kalau pohon ini telah ada sebelum aku dilahirkan. Uhh...kuangkat tanganku tinggi-tinggi untuk melemaskan nadi dan pikiranku. Jam tanganku telah menunjukkan jam 5 sore. Langit telah menampakkan sisi terbaiknya dalam warna jingga. Kukumpulkan kembali kertas-kertas yang berserakan di tanah. Ternyata banyak juga tulisan yang kubuat hari ini. Senyum puas menghiasi wajahku. Aku senang sekali menulis, apalagi ditemani oleh suasana yang indah seperti di dalam tempat ini. Tidak semua orang mengetahui keindahan dan nilai yang tersembunyi di tempat ini. Dan kebetulan pula aku mengetahuinya dari cerita kakekku yang telah meninggal tiga tahun yang lalu. Dahulu kala, benteng ini sangat terkenal di tanah jawa. Tapi entah mengapa, sekarang yang tersisa hanyalah puing-puing yang seakan tak berarti jika berada di dalam keramaian kota seperti ini. Yah, mungkin yang namanya orang Indonesia sudah merasa lebih dalam warisan budayanya, sehingga ada yang terlewati dalam perawatannya. Atau...mereka sudah tak peduli lagi pada kekayaan budaya?ahh...aku nggak ngerti lagi masalah beginian. Yang aku tahu, aku puas melihat sisa-sisa budaya seperti ini, walau keadaannya sudah tidak layak untuk dilihat, apalagi untuk dikunjungi. Perjalanan panjangku akan dimulai dari sini...
Jalanan aspal maupun jalan setapak kulalui kilometer demi kilometer, aku tak tahu lagi arah yang aku tuju. Kakiku mulai panas tersengat tanah hitam yang terpantulkan sinar matahari. Keringatku mulai mengalir dan menetes ke bayanganku. Apa yang aku lakukan ya?aku tak mampu lagi berpikir di tengah hiruk pikuk kota seperti ini. Yang kutahu, aku akan berjalan ke arah barat sampai titik horisontal akan menemuiku. Di batas kota Klaten, aku mulai merasa kepayahan. Aku tak mampu lagi berjalan. Waktu sudah memasuki jam 2 pagi. Aku akhirnya mulai berpikir jernih. Di sudut pandangku nampak tempat pemberhentian truk yang lumayan banyak. Terhitung ada 8 truk yang berhenti di warung makan kecil di tepi jalan raya. Sopir-sopir truk tampak bercengkerama dengan riangnya dengan rekan-rekan seprofesi yang baru dikenalnya. Ada yang sedang menikmati hangat dan kentalnya kopi yang disuguhkan oleh ibu pemilik warung. Ada juga yang sedang berkelakar mengenai pengalaman mereka selama menembus waktu di jalanan antar kota. Tak banyak yang cuma tiduran di dalam truk-nya untuk melepas lelah.
Kakiku mulai terasa berat saat mendekati warung kecil yang sinar lampunya nampak mencolok dalam kegelapan kota.
Bunyi-bunyian dalam perutku memecah keheningan malam itu. Oh, iya, aku belum makan sejak tadi pagi. Energi dari nasi pecel khas Solo nampaknya telah habis seiring dengan keringatku yang mengalir setelah semalaman berjalan kaki. Dengan sedikit ketakutan aku melangkah menuju warung. Aku takut bukan karena tampang sopir-sopir truk yang garang, tapi aku lebih takut pada diriku sendiri. Kuakui, nyaliku memang tidak begitu besar. Aku jarang bergaul dengan para penakluk jalanan. Dengan langkah yang berat aku menuju warung itu yang jaraknya sekitar 70 meter dari tempatku berdiri. Pandanganku mulai berkunang-kunang karena rasa lapar yang menghantuiku. Namun, di balik bayangan akan nikmatnya nasi yang akan kusantap, tiba-tiba sekelebat bayangan besar menabrakku. Cukup keras bagiku dengan kondisi badan tanpa tenaga seperti ini. Aku pun terhuyung dan terjatuh terlentang di tanah yang keras. Dadaku sedikit sesak dan nafasku terhenti sementara. Dengan mata yang sedikit terbuka, samar-samar kulihat tiga wajah garang dengan badan yang tinggi besar menghampiriku dengan tatapan marah. Dalam hati pun aku berkata, “Yah...habislah aku...”

You Might Also Like

0 comments