Sang Bintang-Pintu pertama

7:36:00 AM

Terkadang kenangan datang, terkadang tersapu angin malam yang terhembus tanpa batas. Malam begitu liar menunggu. Seakan takkan terjumpai apa yang telah dinantikan selama ini. Haruskah dunia ini berubah tatkala airmata peramal jatuh menyesali apa yang telah diperbuatnya?

Kejumpaan dengan angan takdir terkadang menjadi makna, terkadang pula menjadi bencana. Di saat semua hal membiaskan sebuah arti kepercayaan, hati terasa bijak menentukan segala kesalahan yang tak terbendung. Kenangan di masa lampau…dapatkah kau kembali padaku dengan mengubah keseluruhan cerita yang terbengkalai? Atau kau hanya lewat sebatas melepas kerinduan yang menggundahkan hati?

Saat-saat berpeluh rindu. Di mana sebuah pelukan menjadi buaian musik yang mengeruk lumbung kerohanian.surga yang kutempati terlupakan dan memahami mengapa aku meninggalkannya untuk sementara.

PINTU PERTAMA

SATU TEMPAT SATU WAKTU, 11 OKTOBER 2002

(ROMANSA BULAN OKTOBER)

Pertemuan ketiga yang berjalan mengikuti arah nurani. Sebuah kenangan di mana perjumpaan tak terlupankan mengukir sejarah hidup yang terbingkai oleh serangkaian bunga mawar dan terelokkan wangi anggur. Seakan menyelami dua dunia di mana sisi kegelapan takluk sesaat oleh terangnya cahaya emas dari dunia tanpa dosa.

Sesaat itu angin menerpa pelan di wajahku. Tanpa maksud tersembunyi, mencoba menyapa dan menciumku. Tanpa mempedulikan perjalanan jauh yang telah kutempuh beberapa saat yang lalu. Melewati batas-batas kota, menyeberangi panorama indah yang belum pernah kupandangi dengan kelima indera tubuhku.

Dunia baru yang kurasa seolah bukan hal asing lagi bagiku. malam berubah semakin pekat dan dingin menghampa.

Tanpa teman. Itulah yang pertama kali kurasakan. Bisikan yang kurindukan mengundangku tuk berdiam diri di tempat yang telah kujamah. Bisikan itu melemah beberapa saat, menguat, dan melemah lagi seakan enggan tuk berkunjung. Perlahan tapi pasti, bisikan tersebut tiba-tiba memanggilku sebagai jelmaan kecintaan seorang sahabat. Perasaan yang telah kunantikan berbulan-bulan yang lalu. Yang akan selalu kunantikan walau langit badai runtuh menimpaku. Tanpa diundang, kerinduan itu tiba-tiba hilang sesaat, berganti dengan kesikukuhan akan janji bahwa aku tetap memandangnya sebagai wanita yang harus kusayangi. Harus kucintai. Harus kumiliki. Walau satu cinta itu terlarang untuk dimulai dan diakhiri.

Roda kehidupan perlahan berputar mengelilingi nafas semu yang terarah pada hiruk pikuknya suasana yang mengasingkanku. Suatu tekad telah memantapkanku untuk tetap berjalan menembus kabut di mana terdapat sederet pemburu liar yang juga telah bersiap diri meluncurkan busur panahnya.sebuah bisikan dari sang gadis perenung itu kembali memaksaku untuk tetap berdiam menembus semua tirai hitam yang membentang.

Pelan tapi pasti. Kerinduan itu perlahan menghilang, menghilang sejenak dan berpamit tuk segera kembali ke rumah hatiku. Sudah saatnya derai awa berhenti sejenak. Berubah menjadi ucapan selamat tinggal pada ke-hirukpikuk-an yang ada. Kehidupanku terasa normal kembali. Ke arah yang lebih tenang. Ketenangan sementara yang benar-benar harus kudapatkan untuk berkenalan pada sebuah keasingan. Keaasingan yang mungkin akan menjadi sisi kenangan dalam sejarah klasik yang tak terbilah.

Sebuah bisikan kembali menghembus lembut di daun telingaku. Bisikan yang dalam, sedalam mutiara menyelami samudera pasifik, membawaku terbang tinggi melebihi kepakan sayap sepasang merpati yang memadu cinta. Bisikan yang menghamba pada desakan untuk mengucapkan bahwa kenangan akan kembali lagi di esok hari di mana sang mentari dapat bersinar lebih cerah menerangi buramnya kehidupan di masa yang telah lampu. Masa-masa di mana kehidupan dan pengasingan terhadap segala sesuatu bakal kurasakan sendirian. Masa-masa di mana kemuliaan dan kebatilan tunduk pada satu arti kesepian akan torehan warna cerah di atas kanvas yang menggambarkan kesedihan seorang pemuda.

Dalam janji, gadis dalam itu mengecupkan kasih sayang yang telah kurindukan selama ini di dahiku. Meyakinkan bahwa aku akan melupakan kesendirian di masa lalu itu.dan akan terus bersama cintanya di dalam dongeng yang tergambar jelas di kelopak matanya. Dongeng yang tidak akan berubah menjadi mimpi. Dongeng yang tidak akan menjelma menjadi suatu angan-angan belaka. Tali peumpamaan yang menjerat perasaan menempuh akhir ajalnya. Tuhan menciptakan dia untukku, pikirku.walau terkadang kenyataan tak sepahit yang kita duga.

Waktu berlalu perlahan tanpa pesan. Sang waktu terkesima melihat sosok angan yang dirindukan, menghisap roh dan benalunya ke dalam alunan nada yang indah. Bentang hidup masih panjang. Tak terbatas. Bahkan jika diinginkan, terkadang melebar hingga menutup nirwana. Asa ini tak hilang mengiringi jenuh yang bersemayam di batin. Penantian yang menjamur telah merajuk untuk kembali bersinar. Sambil menitih waktu, gadis itu menuturkan sebuah kisah yang menyentuh kanvas dalam hati. Menggoreskan keindahan dan ketiadaan dalam suatu waktu yang sama. Membisikkan buaian keramat yang menusuk keyakinan. Namun entah kenapa, sebilah pisau seakan terselip dari belakang jubahnya. Menginginkan kembalinya waktu tanpa ada pertemuan di antara kita. Meneriakkan penyesalan yang bergaung melalui lembah yang indah. Tak memberikan kesempatan bagi siapapun yang menginginkan kebahagian. Tuhan, haruskah kuterima ini semua? Sujudku padaMu seakan terlupakan dan Kauabaikan begitu saja. Takdir yang harus kuterima menampakkan warna perjanjian yang sudah semakin pudar. Namun aku tetap bersujud padaMu. Walau aku tak mengerti lagi apa artinya.

Setetes air mata penuh pengharapan yang tak pernah berakhir menetes dari mata bening sang gadis. Meluruhkan gelora kepemilikan yang menempuh jalan panjang. Jalan panjang yang selama ini kami tempuh sendiri. Berbeda dari segala ciptaanNya yang hadir mengisi kamar hampa dalam pertautan ragawi. Tanpa sadar, kesedihan itu membuatku merasa berdosa. Ingin kusiramkan air suci dari sentuhan para penebus dosa. Ingin kuhembuskan angin pengharapan yang mampu mengikis mutiara yang terluka. Ribuan kisah dalam kenangan telah kujalani dan kuterima bagai masa-masa yang tak terlupakan. Walau anggur dan mawar berduri berjumpa dalam serambi gubuk hatiku, kisah itu takkan menggoyahkan nuraniku sebagai seorang pemandu khayalan yang menghidupi sejuta bintang dan ribuan bait dengan kalimat sederhana.

Apakah arti perbedaan? Apabila perbedaan diciptakan untuk membuai doa dan kesucian? Bagai setetes embun yang mengalir dari langit, menanti datangnya saat dia diturunkan. Menanti apakah tiba gilirannya akan datang walau dengan persaingan yang membawa bencana. Sehingga membawa gemuruh yang menandakan akan adanya kemenangan yang dinantikan. Tapi setelah turun dengan kegembiraan hati yang tak tersikap dalam tirai, terjadi persimpangan dalam perjalanan hidup. Persimpangan jalan. Selalu ada dalam hidup. Tak bisa dihindarkan, apalagi dihilangkan. Tak ada satupun yang menemani dalam penentuan ini. Apakah akan menjadi awal, atau menjadi akhir. Namun sang embun tampaknya lebih bijaksana. Memilih memanjatkan pngharapan pada sang penciptanya. Walau dia sendiri telah berusaha memenangkan pertempuran dengan mengorbankan teman hidupnya.

Kehadiran doa membuat air mata Sang Pengasih membelainya dalam jemari halusnya. Membawanya ke jalan penuh duri namun memiliki surga yang belum terlihat. Mambutuhkan usaha dari jiwa maupun raganya untuk meminum anggurnya. Membutuhkan lebih dari pengorbanan yang lalu untuk memetik buah-buahan segar di padangnya. Membutuhkan nurani suci untuk menempuhnya. Embun kecil mengucap termakasih telah diberi jalan. Pendaratan di tanah penuh dosa membuatnya dahaga akan kebaikan. Kebaikan yang tak akan bisa ditemui di tanah ini. Dia pun meraih pegangan hidup yang diciptakannya sendiri. Pilihan yang memilukan namun penuh dengan janji Sang Pengasih. Kesabaran dan keinginannya untuk menikmati air surga membawanya menempuh jalan dengan roda tasbih.

Tiap belukar yang panas terkena aura sesal telah terbendung. Langkah penuh tangis menjumpa dalam buih penyiksaan. Waktu demi waktu dilaluinya dengan tabah. Dia layak untuk mendapatkan hasil dari larutan doa yang kunjung dia haturkan. Dia bertemu dengan teman-temannnya kembali yang telah memenangkan pertempuran di langit. Teman-teman yang selama ini berembunyi dari hatinya yang kosong. Yang tengah bersiap untuk menemani jalannya ke surga yang indah. Surga di mana dia dan teman-temannya bisa menikmati kesucian dan keridhoan yang selama ini hanya mampir ke alam mimpinya.

Persimpangan jalan sang embun tengah berada di balik tirai yang menutupi langkahku. Penat menjalar ke seluruh bagian pemikiranku. Bimbang ingin kulangkahkan ke mankah kakiku ini. Ke arah kebajikan, rasa tanggung jawab enggan mengabdi pada empunya. Ke arah kenistaan, neraka bersimpuh darah pendosa setia menunggu ajal. Ke arah kepasrahan, relung kebutaan menempuh kabut yang tebal menutupi mata surya.

Tiba-tiba jemari tangan sang gadis meneduhkan khayalanku. Daripada berkhayal, lebih baik kita lewati duri dan benalu yang menelantarkan jalan pencarian menuju gubuk romansa, katanya. Suara hatinya selalu bisa meredakan amukan api yang menjilati seluruh bagian ragaku. Melindungi keresahan seorang pujangga yang kehilangan daya pikirnya untuk melukiskan keindahan suara ombak. Menjawab pertanyaan para filosof zaman Yunani yang tengah memperjuangkan antara aspirasi dan keyakinan. Membentuk lilin keabadian yang menyinari kegelapan dalam kehidupan para penduga. Keikhlasan akan takdir yang terputar dalam roda kehidupan ini kusambut hangat dalam dua janji yang terasah dalam alunan sabda. Kujanjikan pada sang gadis bahwa jiwa dalam anganku mengatakan perpisahan yang bakal terjadi takkan bisa melepaskan gandengan tangan dalam menitih jalan yang setipis benang sutra. Kemudian dengan nama sang pemahat kesempurnaan kujajikan bahwa aku kan selalu ada untuk mengayuh dayung kejiwaan sampai akhir sang mentari menampakkan kejenuhan menyinari fajar.

Tetes air suci menggenang dalam suryanya. Menunjukkan kesetiaan yang luar biasa. Menghilangkan nafas kebatilan yang selama ini melekat dalam dosaku. Kuiyakinkan aku kan berpegang pada batu karang dalam menghadapi fana yang bercerita mengenai ketegarannya. Tanpa kata-kata dalam bait, dia menapakkan langkahnya menuju auraku. Sang gadis mendekapku bagai rayuan ibunda agar kita selalu berteduh padanya. Aku sudah tak peduli lagi pada buaian fanatik dan ringkasan carita yang dibuat penulis roman secara beraturan, isaknya dalam naungan rembulan yang kian membulat menambah kelembutan sisi cantik sang gadis. Perbedaan aliran sungai yang kita tuju hanyalah khayalan para pemikir yang membuat semua insan berasumsi hanya ialah yang benar, karena pada akhirnya nanti kita semua akan mengalir dan bermuara pada laut yang sama. Dengan kadar keasinan yang sama, kelembutan debur ombak yang sama, dan dengan syair lantunan sang angin yang sama... derainya dalam pelukan sang pendulang rindu.

Aku tak berucap. Bibirku menutup seakan ada rantai yang membelenggu dengan suatu kunci yang tak terbuka oleh para pembuat pedang sekalipun. Terkatup bagai ingin ungkapkan rahasia yang bisa mengubah takdir dunia menuju lautan madu.tampaknya, jlan kepasrahan telah membentang jauh di hadapanku. Dengan jalannya yang berliku, terkadang terputus tanpa batas, dengan kedalaman yang bisa menghancurkan kereta troya dalam sekali hempasan. Ini adalah jalan yang kupilih. Hanya keyakinan hatilah yang bisa membantuku. Sahabat tak menjadi pemutar rodaku. Mereka hanya menjadi pagar yang mengarahkanku agar tak terhempas jikalau aku melewati batas yang terukir dalam garis nasib. Pintu gerbang itu telah terbuka untukku dan sang gadis. Sambil menggandeng tanganku erat, kami melewati awal perjalanan yang telah disiapkan oleh sang perubah mata hati dengan seberendel kunci emas yang ada di tangan rapuhnya. Aku bahkan tak sempat berpikir apakah jalan ini benar jlan yang kupilih, ataukah bukan. Gandengan tangan yang erat dari sang gadis telah menuntun kakiku yang taksebading dengan keyakinanku. Jumpa pada langit biru dan bintang jenaka hanyalah gambaran pelukis buta yang bercerita mengenai keindahan sebuah arti cinta. Aku sadari, aku telah terbuai pada nada dan irama yang disenandungkannya melalui bisikan seorang bidadari....


You Might Also Like

0 comments